Beauty

[Beauty][bsummary]

Health

[Health][bsummary]

Fashion

[Fashion][bsummary]

Lifestyle

[Lifestyle][twocolumns]

Celebrity

[Celebrity][bleft]

Parenting

[Parenting][bsummary]

Community

[Community][bsummary]

Enterpreuner

[Enterpreuner][twocolumns]

Culinary

[Culinary][bsummary]

Travelling

[Travelling][twocolumns]

Suku Bajo, Pengembara Laut Nan Ulung



FEMINIA-Suku Bajau (Bajo) telah lama dikenal sebagai orang-orang laut yang andal. Mereka hidup di atas dan di bawah hamparan perairan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil sampai orang dewasa.

Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya.

Orang Bajo dikenal bisa lebih tahan lama menyelam di air. Mereka disebut-sebut bisa tahan sampai 13 menit di kedalaman 60 meter tanpa alat bantu nafas atau oksigen.

Jika tanpa alat bantu nafas, rata-rata manusia awam hanya bisa bertahan 30 sampai 60 detik di dalam air. Rekor terlama bertahan di dalam air tanpa alat bantu napas diraih oleh penyelam asal Denmark, Stig Severinsen, yaitu 20 menit. Itu pun diraih dengan pelatihan yang rutin dan terencana.

Koordinator Kelompok Studi Maritim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedi Supriadi Adhuri, menyebut kemampuan itu adalah hasil adaptasi dari kebiasaan Orang Bajo yang hampir 24 jam hidup di laut.

"Secara fisik mereka beradaptasi juga. Mereka dibanding dengan suku bangsa lain di Indonesia, bisa bertahan di dalam laut lebih lama," ucap Dedi dilansir CNNIndonesia.com.

Berdasarkan jurnal penelitian Cell mendeteksi adanya mutasi DNA pada limpa di Orang Bajo.

Saat seseorang menyelam dan menahan nafas, maka akan terjadi reaksi. Detak jantung melambat, pembuluh darah menyempit dan limpa berkontraksi. Kontraksi pada limpa itu berfungsi untuk menghemat energi saat seseorang kekurangan oksigen.

Berdasarkan jurnal tersebut, limpa Orang Bajo kemungkinan lebih besar, sehingga kuat untuk berada di dalam air dalam jangka waktu yang lama.

Suku Bajo - yang warganya sebagian besar memeluk agama Islam, mempunyai banyak sebutan. Sebagian menyebut mereka orang laut. Orang Jawa menyebut mereka Bujuus. Orang Melayu menyebutnya Celates.

Di perairan Selat Makassar, mereka disebut Bajau atau Bajo. Sementara itu, mereka sendiri menyebut dirinya Orang Sama.

Dedi mengatakan, awalnya orang Bajo memang tinggal di perahu, mengapung di lautan. Namun, semakin ke sini Orang Bajo mulai banyak yang tinggal di daratan.

"Ada yang sudah hidup di pesisir. Yang hidup di daratan. Sebagian rumah biasanya masih di atas air," ujarnya.

Menembus batas-batas

Bicara mengenai Orang Bajo adalah bicara tentang pengembara lautan. Meski, asal usulnya belum diketahui secara pasti.

Tak hanya di Sulawesi, Indonesia, Suku Bajo juga ada yang ditemukan bermukim di perairan Sabah, Malaysia, dan Tawi-Tawi serta Mindanao, Filipina.

Ada yang menyebut orang Bajo berasal dari Filipina dan ada juga yang menyebut dari Malaysia. Namun, sejak berabad-abad mereka hidup di lautan secara nomaden.

Sejarawan dari UIN Raden Intan Lampung, Rahman Hamid, banyak mempublikasikan penelitiannya mengenai sejarah maritim, salah satunya membahas pengembaraan orang Bajo.

Secara umum, Rahman mengatakan banyak yang menganggap asal usul Orang Bajo yaitu dari Semenanjung Malaka, lalu berimigrasi ke berbagai penjuru Nusantara. Namun, ada juga yang mengatakan orang Bajo berasal dari Sulawesi Selatan dan menyebar ke wilayah lainnya.

Ia mengakui rekam jejak orang Bajo memang belum bisa dideteksi secara pasti. Namun, bisa ditelusuri melalui hubungannya dengan beberapa kerajaan di Nusantara seperti Kerajaan Malaka, Luwu Siang, Makassar dan Bone.

Pada masa kerajaan Malaka, abad ke-15. Puluhan Orang Bajo mengiringi Raja Parameswari ketika pindah dari Tumasik (Singapura) ke Muar. Saat itu, Orang Bajo menemukan tempat di Sungai Bertam. Sungai itu kemudian menjadi Malaka.

"Mereka merupakan kekuatan bahari yang sangat diandalkan, baik terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam khususnya," kata Rahman dalam Jurnalnya

Sementara itu, Rahman menyebut keberadaan Orang Bajo di bagian timur Nusantara selalu dikaitkan dengan Johor. Hal itu sebagaimana tertulis dalam buku 'Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut' karya Adrian Lapian.

Orang Bajo dalam cerita rakyat Kalimantan Utara disebut-sebut sebagai keturunan dari pelaut Johor yang ditugaskan oleh sultan untuk mengantar putrinya, Dayang Ayesha, ke Sulu.

Dalam pelayaran itu, mereka diserang oleh kapal Brunei dan berhasil menculik sang putri. Karena tidak dapat melindungi sang putri, mereka tidak mau kembali ke Johor atau meneruskan pelayaran ke Sulu. Sejak itulah mereka hidup mengembara ke penjuru lautan.

Dalam buku itu juga dijelaskan cerita lain mengenai asal-muasal pengembaraan Orang Bajo. Beberapa abad silam, Orang Bajo hidup di atas perahu di Semenanjung Melayu. Mereka bekerja sebagai nelayan dan hidup dengan damai.

Mereka diceritakan sebagai orang-orang yang takut dengan orang darat. Namun, suatu hari kepala orang darat naksir kepada puteri dari kepala Suku Bajo.

Akhirnya, kepala orang darat itu menculik anak dari kepala Suku Bajo dan membawanya ke darat. Tapi puteri itu berhasil melarikan diri ke laut dan bertemu dengan Orang Bajo yang lain.

"Sejak saat itu Orang Bajau berlayar jauh-jauh karena mereka takut dikejar oleh orang darat yang mencari puteri tersebut," tulis Adrian dalam bukunya (halaman 109).

Orang Bajo berlayar dari satu titik ke titik lain. Mereka tak berhenti menyusuri lautan dengan alam sebagai pemandunya.

"Pengembaraan mereka tidak mengenal batas teritorial. Arah dan tujuan pengembaraannya dikondisikan oleh alam dan potensi perikanan yang mereka butuhkan," ujar Rahman.

Belum diakui negara

Dedi menyayangkan pada beberapa tahun silam, pemerintah Indonesia tidak mengakui Orang Bajau sebagai warga negaranya. Pemerintah ingin Suku Bajo mendiami daratan dan memiliki kartu identitas resmi. Tetapi sejak dahulu kala, Suku Bajo hidup nomaden alias berpindah tepat. Jadi, penyeragaman syarat menjadi warga negara itu amat memberatkan mereka.

Hingga saat ini, banyak Orang Bajo yang masih kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Menurut Dedi, Orang Bajo sebenarnya punya peran yang besar dalam maritim Indonesia. Orang Bajo punya pengetahuan yang luas mengenai laut karena sehari-hari berjibaku di sana. Jika ada perubahan dalam laut, mereka adalah orang pertama yang akan mengetahui itu.

Dedi berpandangan, pemerintah Indonesia seharusnya bertanya dan melibatkan Orang Bajo jika sungguh-sungguh ingin merevitalisasi kemaritiman.

"Jadi kalau kita merevitalisasi budaya bahari kita harus belajar ke mereka," ucap Dedi.

"Apa yang direvitalisasi? ya itu, pengetahuan-pengetahuan yang dalam mereka tentang laut, karakteristik laut, kemudian sumber daya yang di dalamnya dan berbagai macam sistem adat yang mereka lakukan," imbuhnya.

Kisahnya salah satu warga Suku Bajo yang bermukim di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, bisa dilihat dalam dokumenter di Netflix berjudul 'Jago: A Life Underwater' karya James Reed dan James Morgan atau 'The Bajau' karya Dandhy Dwi Laksono.(mr/cnn)