Beauty

[Beauty][bsummary]

Health

[Health][bsummary]

Fashion

[Fashion][bsummary]

Lifestyle

[Lifestyle][twocolumns]

Celebrity

[Celebrity][bleft]

Parenting

[Parenting][bsummary]

Community

[Community][bsummary]

Enterpreuner

[Enterpreuner][twocolumns]

Culinary

[Culinary][bsummary]

Travelling

[Travelling][twocolumns]

Menikmati Kepulan Tembakau Garangan yang Kian Tergerus Zaman


FEMINIA-Tak ada yang bisa mengusik kekhusyukan Tjan Kee Beng saat menikmati rokok kawung. Satu tarikan, lalu beberapa detik kemudian kepulan asap menyeruak. Aromanya mungkin asing buat penikmat rokok pabrikan atau vape yang digilai anak muda. Namun buatnya, kepulan asap ini jadi nostalgia kejayaan tembakau garangan di kawasan ibukota.

 

Ia dan sang kakak, Tjan Kee Liong, jadi generasi kedua yang meneruskan toko tembakau bernama 'Semut' di kompleks Pintu Pasar Timur, Jatinegara, Jakarta Timur. Pria yang akrab disapa Abeng ini cuma terkekeh saat teringat perkenalannya dengan tembakau dan kebiasaan merokok.

 

Meski punya usaha toko tembakau, Tjan Joe Djin, sang ayah, tidak memperbolehkan kedelapan anaknya untuk merokok. Tak habis akal, Abeng kecil yang kerap diajak sang ayah ke desa untuk belanja tembakau melihat sendiri cara pengolahan dan belajar melinting rokok dari pegawai ayahnya.

 

"Pahit, begitu merokok, batuk terus meludah. Sekali hisap meludah. Cuma lihat orang-orang kok merokok (terlihat) enak, kok saya meludah. Coba terus. Lama-lama ketahuan ayah sesudah SMA. Enggak diomelin cuma dibilang 'Jago ya sekarang'," kata Abeng diwartakan CNNIndonesia.com di tokonya, beberapa waktu lalu.

 

Di sela obrolan, Abeng memotong lempeng hitam berserat berukuran sekitar 30x15 centimeter ke dalam ukuran mini 10x3 centimeter. Tak disangka ini adalah tembakau garangan, produk unggulan Toko Semut. Sekilas, lempengan-lempengan berwarna coklat kehitaman ini lebih mirip keset daripada olahan tembakau yang biasa digunakan untuk rokok kretek.

 

Lempeng-lempeng tembakau garangan ini dikemas dalam besek atau wadah bambu berlapis daun pisang kering. Dalam satu besek berisi 10 lempeng tembakau garangan.

 

"Disebut garangan karena tembakaunya digarang, dipanggang. Di manapun enggak ada, Dieng, Wonosobo ada. Asal muasalnya saya belum tahu. Kalau jenis tembakau lain yah tembakau jemur, itu saya tahunya (kawasan) Gunung Sumbing sudah ada. Dari 1950-an, orang sudah mulai bikin (rokok) klobot (kulit jagung) dengan cengkeh. Generasi kakek, saya lihat melinting klobot, kawung," ujarnya.

 

Dari Parakan, Temanggung, sang ayah membeli tembakau garangan dari berbagai desa di kawasan Dieng, Wonosobo termasuk Desa Katekan, Desa Pringsewu, Desa Sontolayan, Desa Ngadirejo, juga Desa Sukorejo. Tembakau-tembakau ini pun dikemas, diberi 'grade' lalu dikirim untuk dipasarkan di Batavia.

 

Sebelum toko berdiri pada sekitar 1947-1948, tembakau dipasarkan oleh sang paman. Di zaman itu, Pasar Jatinegara masih berupa los. Baru setelah toko ada, tembakau dari Parakan dipasok langsung ke toko untuk diperjual-belikan.

 

"Keluarga semua di Parakan tapi saat itu nenek, paman sudah di sini (Jakarta), bibi juga pindah kemari. Ayah yang di Parakan memasok ke sini. Saya masuk SD di 1972, suka jaga toko juga. Saat musim tembakau, kan libur, jadi ke Parakan ikut bantu," kata Abeng.

 

Memanggang tembakau di atas bambu

Tembakau garangan berbeda dengan tembakau untuk rokok kretek berkat proses 'garang' atau memanggang. Abeng bercerita, rumah-rumah petani tembakau di desa zaman dulu memiliki tempat khusus untuk mengolah tembakau garangan.

Tidak semua daun dalam satu pohon tembakau diolah jadi tembakau garangan. Saat panen, daun tua dipetik mulai bagian setinggi pangkal paha hingga pucuk. Kemudian daun disusun 5-6 lembar, digulung dan diiris dengan alat berplat besi sebagai pisaunya.

Saat kaum laki-laki mengiris daun, ibu-ibu akan merajut irisan tembakau seperti membuat keset. Rajutan tembakau pun diletakkan pada parak (rak bambu) untuk didiamkan seharian.

"Tembakau lalu dipanggang pakai kotak bambu, namanya rigen. Kotak kira-kira ukuran 2 meter kali 10 centimeter, isi 5 lembar kayak keset tadi. Pemanggangan pakai kayu kopi, jadi apinya kecil dan tahan lama. Seperti bikin kambing guling, tembakau kena panas dari baranya," kata Abeng.

Proses masih berlanjut. Tembakau yang selesai dipanggang akan diistirahatkan untuk kemudian keesokan harinya dijemur di terik matahari. Selama beberapa hari tembakau bolak-balik dijemur untuk menghilangkan kandungan airnya.

Dari petani, tembakau garangan akan dijual ke pengepul. Di sinilah pengepul akan mengemas dan memberikan 'grade'. Beda pengepul, beda 'grade' yang diberikan. "Kalau ayah dari 0-70. Ayah teliti sekali. Ada grade 10, 12, 14, kemudian 30-40 (kelipatan 10) terus 40-70 itu kelipatan 5," imbuhnya.


Di ambang punah

Pembeli tampak datang dan pergi tapi tak ada satupun yang membeli tembakau garangan. Rata-rata mereka membeli mole, produk tembakau yang terbilang lebih enteng dihisap daripada tembakau garangan. Dari pengamatan Abeng, rata-rata konsumen tembakau garangan sudah uzur bahkan 'almarhum'.

"Kami melanjutkan (berjualan tembakau garangan) karena stok masih ada. Belanja terakhir itu di 2000. Udah tanggung, kalau belanja baru yah enggak bakal keluar (terjual). Orang beralih ke tembakau mole, kretek, kalau garangan kecil sekali," ungkapnya.

Teringat cerita sang ayah, tembakau garangan mencapai popularitas setelah pemerintah Indonesia mengambil kebijakan redenominasi rupiah. Pada 1965, nilai mata uang dipotong menjadi lebih kecil, dari Rp1.000 menjadi Rp1. Sontak toko ramai dan tradisi garangan menjadi kuat.

Toko-toko tembakau bertebaran yang menjual tembakau garangan. Saat itu perusahaan-perusahaan rokok belum sebesar sekarang, saingan sedikit. Sebulan sekali belanja tembakau garangan bisa sampai puluhan besek. Dalam setahun, 200 besek bisa ludes terjual.

"Setelah 1976-1977 terus menurun. Setahun 10 besek saja sudah bagus. Generasi penikmat tembakau garangan mulai habis, budaya rokok (pabrikan) makin kuat, garangan turun. Nah mulai ada merk rokok terkenal seperti Djarum, Sampoerna, lalu ada Gudang Garam," kata Abeng.

Sepeninggal sang ayah pada 2007 silam, Abeng setiap hari menemani sang kakak, Liong, menjaga toko. Kini ia dan sang kakak tinggal menghabiskan stok kurang dari 100 besek tembakau garangan di gudang. Dari sekian besek, terdapat besek tembakau garangan tertua dengan angka tahun 1971.

Potongan lempeng tembakau garangan dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp5ribu hingga yang paling mahal Rp50ribu. Dibanding mengonsumsi rokok pabrikan, konsumsi tembakau garangan terbilang hemat. Satu lempeng kecil bisa dinikmati hingga sebulan lebih atau hampir 40 kali merokok. Abeng dengan lincah menunjukkan cuma perlu cuilan tembakau garangan sebesar biji jagung dan gulungan kawung (daun aren) dalam sekali sesi merokok.

"Kan lagi tren nglinting (menggulung atau membuat rokok sendiri). Anak muda saya kenalkan garangan. Kebanyakan bilang enggak terlalu kuat, maunya yang enteng," katanya.

Jika penasaran dan ingin menjajal garangan, Abeng memastikan tidak ada toko lain selain toko Semut yang menyediakan tembakau ini. Meski penikmat rokok di perkotaan mungkin tidak akan melirik garangan. Dia menduga tradisi garangan justru masih kuat di kawasan pesisir di Cirebon, Jawa Barat.

Nelayan di Cirebon masih memerlukan rokok kawung karena terbilang tangguh di laut. Rokok pabrikan jelas bakal rusak terkena air laut sedangkan rokok kawung yang basah tinggal dijemur dan dikonsumsi lagi.

"Di kota udah enggak ada yang mau. Ya punah pasti, enggak ada lagi (penikmatnya)," imbuhnya.

"Cuma pengalaman ayah, kalau ekonomi resesi, orang akan melinting. Beli tembakau bisa irit, racik sendiri. Beli rokok saja bisa Rp30ribu, tapi melinting sendiri dengan nilai Rp10ribu sudah bisa merokok."(fm/cnn)